Aku tahu mungkin pilihanku sudah gila tapi keterpaksaan keadaan membuat aku tidak punya banyak pilihan. Sejak dulu aku hanya mengenal ayah, abang dan nini, tak pernah sekalipun aku bertemu dengan ibu karena memang dia sudah pergi dua bulan setelah melahirkan aku. Sedangkan nini adalah seorang dukun beranak yang sudah lama menjadi tetangga kami, dia sudah menjadi bagian dari keluarga, baik aku ataupun abang sangat dekat dengannya.
Ayah pun menganggapnya sebagai orang tua sendiri, kebetulan semua anak-anak nini sudah besar dan entah berada di mana. Nini meninggalkan kami saat aku sudah duduk di bangku SMP dan itu menjadi pukulan paling berat dalam hidupku. Aku merasa jiwaku ikut pergi bersama nini sampai aku tidak mau makan dan lepas dari kebaya yang selalu ia pakai, tapi kehidupan terus berlanjut ayah selalu memberitahu kalau hidup nini sudah jauh lebih baik di sana.
Perlahan aku bisa merelakan kepergian nini meskipun berkali-kali harus menangis tengah malam karena rindu. Tidak ada lagi yang memasak makanan kesukaanku setelah pulang sekolah atau mengepangkan rambutku saat sore. Kehadiran nini bisa mengisi hatiku yang sepi tapi sekarang aku benar-benar sendiri karena ayah dan abang sibuk dengan urusannya masing-masing, sedangkan aku memengang semua tanggung jawab soal rumah.
Hari-hari terus berlanjut aku merasa bahagia tinggal dengan dua orang yang paling kucinta sampai akhirnya ayah memutuskan untuk menikah dengan seorang wanita. Dia jatuh cinta setelah belasan tahun mencoba berdamai dengan rasa kehilangannya, aku dan abang tidak ada yang menentang karena kami pikir dia akan bisa menjadi ibu yang baik. Namun nyatanya tidak, dia benar-benar membuat ayah menjauhi kami bahkan sampai menelantarkan.
Tiga bulan setelah menikah, wanita itu sempat tinggal bersama kami tapi entah kenapa dia meminta pindah ke suatu tempat dan ayah menuruti keinginannya. Ayah berjanji akan selalu pulang ke rumah untuk makan malam bersama kami seperti biasa tapi ia hanya menepati itu dua minggu di awal. Selebihnya dia sama sekali tidak pernah pulang bahkan bertanya kabar pun tidak, dia bahagia dengan dunia barunya dan menganggap seolah aku dana bang tak pernah terlahir di dunia.
Tugas dan tanggung jawab ayah diambil alih oleh abang, dia putus sekolah lalu memilih untuk bekerja agar kami bisa bertahan hidup. Aku tidak pernah tahu apa pekerjaan abang karena dia tidak pernah terbuka padaku tapi saat dia pulang, kulihat wajah lelahnya saat terlelap sebelum makan makan malam. Abang memberikan aku kesempatan untuk lulus sekolah, sedangkan dia yang mengambil alih semua tanggung jawab orang tua kami.
Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain mengurus abangku dengan baik, memasak makanan yang enak dan mengurus semua keperluan pribadinya. Aku selalu memastikan kalau abang makan-makanan yang bergizi dan juga baik-baik saja di luar sana, melihatnya berjuang sendiri membuat hatiku merasa tidak tega. Pernah aku meminta untuk berhenti sekolah dan bekerja tapi abang tidak pernah mengizinkan “ini sudah menjadi tanggung jawab abang, kamu tidak perlu khawatir abang tidak akan membiarkan kamu sendirian” jawabnya.
Kami memang merasa sakit hati karena dibuang begitu saja demi wanita yang baru ia kenal tapi aku tetap mencintai ayahku. Beberapa kali aku sempat mencarinya ke kantor tapi tak pernah sekalipun dia keluar untuk menemuiku sampai akhirnya abang tahu dan marah besar padaku. “Dia sudah tidak peduli dengan kita, tidak perlu kamu kehilangan harga diri hanya untuk mencarinya. Dia sudah bukan lagi Ayah kita” ucapnya, aku merasa terpukul karena masih berharap keadaan akan kembali normal jika aku bisa berbicara dengannya.
Abang sangat melarang aku untuk bertemu dengan ayah, ia menjual rumah kami dan pindah ke daerah lain. Dia benar-benar menghilangkan jejak, abang tidak ingin melihat ayah datang dengan segudang permintaan maaf. Baginya maaf itu tidak berarti, pernikahannya membawa kesengsaraan pada hidup kami. Empat tahun kemudian, aku telah lulus sekolah dan keterima bekerja di salah satu kafe yang ternyata dekat dari tempat ayah bekerja.
Dalam hati aku sangat berharap bisa melihatnya dari kejauhan hanya untuk melepas rindu dan memastikan kalau dia baik-baik saja tapi harapan itu tidak pernah terkabul. Sesibuk apa pun, dia tidak pernah melintas atau bahkan datang ke tempat aku bekerja dan di saat harapanku mulai sirna ada orang yang mengenaliku. “Kamu Irene anaknya Jasman kan?” Tanyanya ketika aku sedang mencatat pesanannya, aku sangat terkejut ketika nama itu ia sebutkan “dia kenal Ayah?” tanyaku dalam hati, tapi pertanyaannya hanya kujawab dengan senyuman tipis.
“Kenapa kamu bekerja seperti ini di saat Ayahmu sudah menjabat posisi yang strategis?” Tanyanya dan lagi-lagi aku hanya tersenyum tanpa bisa menceritakan yang sebenarnya. Melihat ada yang aneh dari gerak tubuhku, dia meminta aku untuk menemuinya setelah pulang bekerja. “Nanti temui saya di lobi kantor, ada yang ingin saya bicarakan sama kamu” ucapnya yang menerima pesanan kemudian membayarnya. Lagi-lagi aku tidak menjawab dan hanya menatap punggungnya yang mulai hilang di tengah keramaian.
“Apa yang harus kulakukan?” Tanyaku dalam hati, sisa hari kurasakan dengan sangat gelisah sambil menerka-nerka apa yang ingin dia bicarakan padaku tapi di satu sisi aku takut abang akan tahu soal ini. Setelah banyak pertimbangan, akhirnya kuputuskan untuk menemuinya sebentar karena siapa tahu aku akan bertemu dengan ayah dan hidup kami akan kembali seperti dulu. Aku menemui pria itu yang baru kuingat namanya adalah Soni, dia rekan kerja ayah yang dulu pernah dibawa ke rumah untuk makan malam bersama.
Dia mengajakku duduk di lobi gedung perkantoran itu, “begini saya tidak tahu apakah kamu tahu kalau Ayahmu sudah menjabat posisi strategis di kantor ini atau tidak tapi tadi saya sudah menemuinya. Saya mengatakan kalau saya bertemu dengan kamu di kafe tapi tidak mengatakan kalau kamu bekerja di sana, sayangnya respons dia tidak baik” ucapnya membuka percakapan. Aku tahu hal itu akan terjadi dan dalam hati aku sudah tahu kalau harapan untuk mendapat kehidupanku kembali pupus sudah.
“Aku tahu Om, keadaan di antara Ayah dengan kami memang tidak baik semenjak dia menikahi wanita itu” sahutku membuka suara, “dia menguasai Ayah dan memilih untuk menelantarkan seolah kami tidak pernah terlahir menjadi anaknya” tambahku. “Abang harus putus sekolah dan bekerja untuk menghidupi kami berdua, sedangkan dia tidak pernah memperbolehkan aku bekerja sampai lulus sekolah. Abang sangat sakit hati dan memutuskan menjual rumah untuk menghilangkan jejak kami, aku sempat beberapa kali datang ke sini tapi Ayah juga tidak mau menemui bahkan mengusirku dari sini. Sejak saat itu Abang benar-benar melarangku untuk bertemu dengannya” ceritaku singkat.
“Saya tidak menyangka kalau Jasman akan memperlakukan kedua anaknya seperti itu karena setahu saya dia sangat mencintai kalian” ucapnya, aku tidak bisa membalas pernyataannya dan hanya bisa menundukkan kepala menatap kedua sepatuku sambil berusaha menahan tangis. “Sekarang hidup kalian bagaimana? Apa yang bisa Om bantu?” Tanyanya, “kami baik-baik saja kok Om, tidak perlu repot-repot” jawabku. Dia hanya menatapku dengan tatapan tak tega, kemudian mengusapkan tangannya ke kepalaku “sabar ya, semua akan membaik secepatnya” balasnya.
Dia mengantar aku sampai jalan dekat rumah dan memberiku sejumlah uang yang ia masukkan ke dalam amplop. “Hubungi Om kalau butuh sesuatu, di situ ada nomornya” ucapnya sebelum aku keluar dari mobil dan berpamitan, itu adalah jalan di mana semua kegilaan ini bermula. Berawal dari rasa iba, hubunganku dengan Om Soni semakin dekat dan ia menjadi lebih sering datang ke kafe tempatku bekerja.
Aku menceritakan semua yang terjadi padanya dan dia mulai membantu dari segi finansial sampai moral. Namun lama-lama aku merasakan hal yang lebih padanya, sudah lama sekali aku tidak mendapatkan sosok dewasa dan bisa melindungiku seperti Om Soni dan ternyata dia pun merasakan hal yang sama. Kami mulai menjalin hubungan rahasia sebagai sepasang kekasih, baik abang maupun istrinya tidak ada yang tahu soal itu.
Kami selalu bertemu di hotel dan aku tidak pernah mau jika disuruh tinggal di apartemen, aku tidak mau abang curiga tentang hubungan kami. Aku ingin membuat hidup kami lebih baik tanpa dia harus tahu apa yang kulakukan, bekerja di kafe hanya menjadi kamuflase agar dia abang tidak mencurigai dari mana aku mendapatkan uang. Sering kali aku mendengar kabar tentang ayah dari Om Soni dan aku selalu bercerita tentang bagaimana dulu ayah memperlakukanku dengan penuh kasih sayang.
Aku sering nangis di pelukannya saat bercerita tentang ayah dan Om Soni ingin sekali menegurnya tapi tidak pernah kuperbolehkan. Aku tidak ingin Om Soni dan ayah bertengkar hanya karena ceritaku, jadi semua kesedihan itu hanya bisa kuceritakan tanpa berharap apa pun. Bersama Om Soni aku mendapat bahagia dan tidak bisa kupungkiri keadaan ekonomi kami juga membaik sangat drastis.
Hampir lima tahun menjalin hubungan rahasia dengannya tiba-tiba Om Soni menyuruhku untuk pergi ke Malaysia, “kamu kuliah saja di sana, Om yang akan bayar semuanya” ucapnya malam itu, “kenapa memangnya Om?” Tanyaku, “istri Om sudah mulai curiga, kamu bilang saja sama Abang kalau dapat beasiswa kuliah di Malaysia” jawabnya.
Aku menurut saja dan abang terlihat bangga saat aku mengatakan alasan yang direncanakan oleh Om Soni. Satu bulan kemudian aku keluar dari kafe tempatku bekerja dan pergi ke Malaysia, mendaftar universitas di sana lalu mencari apartemen yang tak jauh dari kampus. Om Soni membayar semua kebutuhan yang kuperlukan dan bahkan memberikan uang saku setiap bulannya, tapi uang itu tidak kupakai semua. Aku mengirimkannya ke abang dan menabung kalau-kalau semua keadaan akan berubah secara tiba-tiba.
Om Soni sering mengunjungiku ke Malaysia, di sana kami lebih bebas untuk pergi ke mana saja dan melakukan hal yang kami mau tanpa harus merasa takut. Tidak kusia-siakan kesempatan belajar di luar negeri yang diberikan oleh Om Soni, aku menggunakannya dengan baik hingga lulus dan bekerja di salah satu perusahaan di sana. Kehidupan abang di Jakarta pun juga sangat membaik, dia kembali sekolah dan melanjutkan studinya tapi meski terpisah kami sering bertemu entah dia yang berlibur ke tempatku atau sebaliknya. Hingga kini hubunganku dengan Om Soni sudah berjalan hampir sepuluh tahun dan aku tidak pernah terpikir untuk mencari pasangan lain entah sampai kapan.
#cerita cinta terlarang penuh dosa